"Aku pergi."
Musim panas, dan semua suaranya masih memenuhi keseharian Miyamori Miki, si gadis berperawakan mungil pecinta musim panas.
Sebuah senyum tersungging di bibir Miki kala pintu di belakangnya tertutup dan suara kicauan burung menyambutnya. Dengan riang, Miki bergegas.
Senyum di bibirnya makin lebar ketika ia mengingat siapa yang akan ia temui - koreksi, lihat nanti. Otak Miki seperti sudah dapat membayangkan apa yang menantinya di TSM.
Sudah lewat seminggu sejak perkenalan pertamanya dengan sang pianis - begitu kiranya sebutan Miki terhadap Tsujimaru Seiichiro. Dan sejak perkenalannya, Miki menghabiskan hampir seluruh waktunya hanya untuk diam-diam menjadi penonton Tsujimaru-san. Hampir setiap hari, ia menghabiskan waktunya di TSM dan Miki tak pernah bosan, tidak sekali pun.
Miki seperti tersihir olehnya, oleh Tsujimaru Seiichiro dan melodinya yang indah. Kata 'indah dan ajaib' seperti tak bisa lagi digunakan untuk mendeskripsikan permainan Tsujimaru-san.
Tapi, Miki tak pernah berbicara dengannya sejak hari pertama. Lelaki itu tampak seperti tenggelam dalam dunianya sendiri sehingga tak menyadari kehadiran dirinya dan Miki sendiri, ia cukup puas hanya dengan menikmati permainan Tsujimaru dari pojok blakang.
Melodi musim panas.
Ya, bagi Miki, permainan Tsujimaru adalah melodi musim panasnya.
Miki mempercepat langkahnya, menyebrangi halaman TSM yang luas dan lebar menuju ke auditorium. Samar-samar ia dapat mendengar lantunan melodi musim panasnya itu
Seperti biasa, pintu auditorium yang berat tersebut terbuka sedikit dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Miki melangkah masuk, sembari mengatur debar jantungnya. Ada sesuatu di balik permainan Tsujimaru yang selalu membuatnya berdebar ketika memasuki ruangan kedap suara tersebut.
Diam-diam, Miki mengambil posisi ke tempatnya yang biasa dan dalam hitungan detik, Miki dapat langsung mengenali untaian nada-nada yang memenuhi auditorium. Senyumnya langsung menghilang.
Piano Sonata No. 16 in A minor, Op. 42, D. 845. Franz Peter Schubert.
Lagu ini membuatnya seperti kembali ke masa lalu. Kakek beserta pianonya. Kakek adalah penggemar Schubert dan Miki ingat dengan jelas bahwa lagu ini lah yang sering dimainkan oleh kakek untuk dirinya dahulu.
Tidak mungkin ia tidak ingat hal itu. Nenek yang mengajarkan Miki untuk mencintai musik, tapi kakek lah yang mengenalkan dirinya pada musik. Miki selalu ada di sisi kakek, mendengar setiap permainannya penuh kekaguman dan berharap suatu hari ia bisa memainkan sonata favorit ojii-san.
Tapi, sayangnya... harapan tersebut tak pernah terkabul.
Tuts terakhir ditekan, sonata tersebut telah mencapai akhir dan Miki masih belum kembali dari lamunannya.
Teguran itulah yang membuat Miki sadar. "Miyamori-san, sampai kapan kau akan berdiri di situ?"
Miki mengangkat wajahnya, masih terjepit di antara dua dunia. Dunia masa lalu-nya dan yang ada di hadapannya. "Kau, bagaimana kau tahu aku disini?"
"Aku tahu kau terus berdiri di situ selama seminggu." Tsujimaru tersenyum dan Miki tak menjawab. "Kemari-lah, Miyamori-san."
Miki tersenyum, masih ada unsur paksaan dalam senyumannya. Sebagian akal sehatnya masih tertancap pada kenangan akan ojii-san. Nonetheless, Miki beranjak dari tempatnya, menghampiri Tsujimaru.
"Kau tidak tersenyum hari ini."
"Aku barusan tersenyum."
"Tidak seperti biasanya, Miyamori-san." Tsujimaru Seiichiro berkata tenang dan mengubah posisi duduknya yang tadinya menghadap Grand piano menjadi menghadap Miyamori-san, sang gadis yang selama seminggu terakhir ini selalu berdiri di pojokan ruangan, menonton permainannya dalam gelap dan tersenyum begitu ia selesai bermain.
Dan bagi Tsujimaru, senyuman Miyamori sama seperti menerima tepukan tangan dari sebuah hall yang penuh dengan penonton.
Sayangnya, hari ini Tsujimaru Seiichiro tak melihat senyum itu. Ia kehilangan senyum itu.
"Ada yang salah dengan permainanku?" tanya Tsujimaru, ingin memastikan.
Salah? Permainanmu perfect. Miki menggeleng, "Tidak. Tidak ada yang salah. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Tsujimaru tidak langsung menjawab. Ia berbalik, kembali menghadap ke piano. Jari-jarinya melayang di atas tuts, siap memainkan sebuah lagu.
Tsujimaru Seiichiro berpaling dan ia tersenyum kepada Miki. Senyum yang belum apa-apa sudah menjadi sesuatu yang sangat biasa bagi Miki.
"Karena kau tidak tersenyum padaku, Miyamori-san."
Musim panas, dan semua suaranya masih memenuhi keseharian Miyamori Miki, si gadis berperawakan mungil pecinta musim panas.
Sebuah senyum tersungging di bibir Miki kala pintu di belakangnya tertutup dan suara kicauan burung menyambutnya. Dengan riang, Miki bergegas.
Senyum di bibirnya makin lebar ketika ia mengingat siapa yang akan ia temui - koreksi, lihat nanti. Otak Miki seperti sudah dapat membayangkan apa yang menantinya di TSM.
Sudah lewat seminggu sejak perkenalan pertamanya dengan sang pianis - begitu kiranya sebutan Miki terhadap Tsujimaru Seiichiro. Dan sejak perkenalannya, Miki menghabiskan hampir seluruh waktunya hanya untuk diam-diam menjadi penonton Tsujimaru-san. Hampir setiap hari, ia menghabiskan waktunya di TSM dan Miki tak pernah bosan, tidak sekali pun.
Miki seperti tersihir olehnya, oleh Tsujimaru Seiichiro dan melodinya yang indah. Kata 'indah dan ajaib' seperti tak bisa lagi digunakan untuk mendeskripsikan permainan Tsujimaru-san.
Tapi, Miki tak pernah berbicara dengannya sejak hari pertama. Lelaki itu tampak seperti tenggelam dalam dunianya sendiri sehingga tak menyadari kehadiran dirinya dan Miki sendiri, ia cukup puas hanya dengan menikmati permainan Tsujimaru dari pojok blakang.
Melodi musim panas.
Ya, bagi Miki, permainan Tsujimaru adalah melodi musim panasnya.
Miki mempercepat langkahnya, menyebrangi halaman TSM yang luas dan lebar menuju ke auditorium. Samar-samar ia dapat mendengar lantunan melodi musim panasnya itu
Seperti biasa, pintu auditorium yang berat tersebut terbuka sedikit dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Miki melangkah masuk, sembari mengatur debar jantungnya. Ada sesuatu di balik permainan Tsujimaru yang selalu membuatnya berdebar ketika memasuki ruangan kedap suara tersebut.
Diam-diam, Miki mengambil posisi ke tempatnya yang biasa dan dalam hitungan detik, Miki dapat langsung mengenali untaian nada-nada yang memenuhi auditorium. Senyumnya langsung menghilang.
Piano Sonata No. 16 in A minor, Op. 42, D. 845. Franz Peter Schubert.
Lagu ini membuatnya seperti kembali ke masa lalu. Kakek beserta pianonya. Kakek adalah penggemar Schubert dan Miki ingat dengan jelas bahwa lagu ini lah yang sering dimainkan oleh kakek untuk dirinya dahulu.
Tidak mungkin ia tidak ingat hal itu. Nenek yang mengajarkan Miki untuk mencintai musik, tapi kakek lah yang mengenalkan dirinya pada musik. Miki selalu ada di sisi kakek, mendengar setiap permainannya penuh kekaguman dan berharap suatu hari ia bisa memainkan sonata favorit ojii-san.
Tapi, sayangnya... harapan tersebut tak pernah terkabul.
Tuts terakhir ditekan, sonata tersebut telah mencapai akhir dan Miki masih belum kembali dari lamunannya.
Teguran itulah yang membuat Miki sadar. "Miyamori-san, sampai kapan kau akan berdiri di situ?"
Miki mengangkat wajahnya, masih terjepit di antara dua dunia. Dunia masa lalu-nya dan yang ada di hadapannya. "Kau, bagaimana kau tahu aku disini?"
"Aku tahu kau terus berdiri di situ selama seminggu." Tsujimaru tersenyum dan Miki tak menjawab. "Kemari-lah, Miyamori-san."
Miki tersenyum, masih ada unsur paksaan dalam senyumannya. Sebagian akal sehatnya masih tertancap pada kenangan akan ojii-san. Nonetheless, Miki beranjak dari tempatnya, menghampiri Tsujimaru.
"Kau tidak tersenyum hari ini."
"Aku barusan tersenyum."
"Tidak seperti biasanya, Miyamori-san." Tsujimaru Seiichiro berkata tenang dan mengubah posisi duduknya yang tadinya menghadap Grand piano menjadi menghadap Miyamori-san, sang gadis yang selama seminggu terakhir ini selalu berdiri di pojokan ruangan, menonton permainannya dalam gelap dan tersenyum begitu ia selesai bermain.
Dan bagi Tsujimaru, senyuman Miyamori sama seperti menerima tepukan tangan dari sebuah hall yang penuh dengan penonton.
Sayangnya, hari ini Tsujimaru Seiichiro tak melihat senyum itu. Ia kehilangan senyum itu.
"Ada yang salah dengan permainanku?" tanya Tsujimaru, ingin memastikan.
Salah? Permainanmu perfect. Miki menggeleng, "Tidak. Tidak ada yang salah. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Tsujimaru tidak langsung menjawab. Ia berbalik, kembali menghadap ke piano. Jari-jarinya melayang di atas tuts, siap memainkan sebuah lagu.
Tsujimaru Seiichiro berpaling dan ia tersenyum kepada Miki. Senyum yang belum apa-apa sudah menjadi sesuatu yang sangat biasa bagi Miki.
"Karena kau tidak tersenyum padaku, Miyamori-san."