Collide (I)
Monday, 18 May 2009
Siang yang sama. Membosankan, dan menyiksa.
Aku menutup lokerku dengan sekali hentakan dan berjalan perlahan, lebih kepada menyeret sneaker converse kucel yang kukenakan hari itu. Sejujurnya, aku tidak punya tujuan, itulah sebabnya aku tidak menyukai jam istirahat. Terutama pada saat-saat seperti ini, dimana aku yakin meja kantin sudah penuh oleh para gerombolan cheers dengan mini skirt mereka, juga gerombolan si berat - itu sebutanku untuk para pengacau, para footballers, dengan otak dangkal mereka yang selalu berpikir bahwa tanpa mereka nama The Griffith Lions tak akan pernah ada. Aku menghela nafas. Tidak. Bukan itu alasan utamanya. Aku hanya membohongi diri. Aku tidak pernah peduli dengan mereka, terserah mereka berbuat apa. Aku tidak peduli. Aku hanya sudah tidak diterima oleh satu-satunya meja yang menerimaku, Marion. Tidak heran sekolah terasa begitu menyiksa. Marion, apa itu yang kau sebut sebagai teman? Aku berjalan. Masih tanpa tujuan, otakku kosong, begitu pula pandanganku dan aku tidak sadar sampai aku berhenti tepat di depan pintu cafetaria Griffith, tempat yang paling kuhindari untuk saat ini (walau itu membuatku terlihat seperti pengecut) tapi tetap kedua kakiku membawaku ke tempat ini. Aku berdiri, lebih tepatnya seperti patung di depan pintu yang terbuka lebar di depanku. Haruskah aku masuk? " Get out of the way, will ya'!?" Seseorang menyenggolku. Aku merasakan senggolan di punggungku dan aku oleng untuk sesaat, membuatku maju beberapa langkah ke depan sehingga kini posisiku berada di dalam cafetaria. Oh great.Aku bukan seperti Kimberly dan Madeleine, yang setiap kali menapak ke dalam kantin menimbulkan kehebohan tersendiri. Wajar rasanya kalau tidak ada yang menyadari keberadaanku di dalam kantin itu. Harusnya aku tidak perlu merasa sepengecut ini. Ini bukan apa yang nenek ajarkan padaku. Tapi...., kedua mataku bergerak secara otomatis dan menangkap figur Marion. Di meja yang biasa, tertawa seperti biasa. Seperti kehilangan diriku di meja tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Aku hanya menatapnya kosong, dan sekilas, Marion melihatku. Ya, sekilas. Mata emeraldnya yang cemerlang langsung dialihkan begitu melihatku. Astaga, Marion. Apa yang kulakukan? Apa salahku? Cafetaria memang bukan pilihan yang baik untuk menghabiskan waktu istarahat tapi.... suara derai tawa yang begitu heboh dari beberapa meja di depanku membuatku berpaling dari Marion. Ada satu alasan lagi. Dan itulah alasan yang tetap membawaku ke tempat ini. Dia. Jared. Beautiful as ever. Sosok yang selalu kucari, kudambakan, tapi tak akan pernah bisa kugapai. Aku ingin tersenyum melihat dirinya, tapi aku tidak bisa. Di situ ia duduk, bersama gerombolannya. Teman-temannya tertawa, tapi tidak dengan dirinya. Ia tidak bereaksi, tetap pada wajah yang Jared yang ku ketahui. Dingin, dan terlihat sedih. Aku tidak bisa tersenyum ketika dia tidak tersenyum. Tidak akan pernah bisa. Dia mendongak, dan aku masih dengan bodohnya menatap dirinya padahal aku tahu pada saat seperti ini harusnya refleks badanku - terutama mata dan kepalaku bergerak. Aku harus berpaling, tapinya nyatanya aku malah menatapnya. Dan mata dingin Jared menyambutnya. Ia balik menatapku. Tidak bereaksi, hanya menatapku. Tidak tahukah kau, aku begitu merindukanmu? Betapa seringnya kau mengisi hari-hariku walau aku lelah dengan semua perasaan ini? Aku hanya ingin melihatmu tersenyum, hanya sekali saja. Hatiku berteriak, dan rasa pedih yang selama ini selalu ku pendam setiap malam seperti muncul kembali ke permukaan. Seperti serpihan-serpihan kayu dari sebuah kapal yang hancur dan tenggelam, semua kembali ke permukaan. Aku berpaling. Aku tidak bisa menatapnya lagi. Hanya menatap dirinya saja, membuatku merasa sakit, juga sedih. Ini tidak benar. Aku tidak seharusnya memikirkan dirinya lagi. Tidak cukupkah semua hal yang ku alami? Marion, dia? Berapa banyak lagi yang harus ku tanggung? Kecupan singkat mendarat di bibirku saat itu, " Hello, sugarpie." "Gaspard!" Terhenyak. Aku mendongak, mendapati Gaspard tengah nyengir menatapku. Aku merenggut, tidak terbiasa dengan sikap Gaspard yang begitu frontal. Aku mendesah dan hanya mampu tersenyum balik. "Sudah lama menunggu?" tanyanya sembari merangkul diriku. Figur Gaspard yang tinggi membuatku terlihat begitu mungil di sampingnya. Aku menggeleng dan Gaspard masih dengan attitude cheerful yang sama mulai menuntunku, keluar dari cafetaria. Aku tidak tahu, bahwa saat itu dua pasang mata tengah menatapku, tajam dan intens, mengantar kepergianku dari cafetaria Griffith. Marion dan Jared.
3 commented
|
Collide (I)
Monday, 18 May 2009
Siang yang sama. Membosankan, dan menyiksa.
Aku menutup lokerku dengan sekali hentakan dan berjalan perlahan, lebih kepada menyeret sneaker converse kucel yang kukenakan hari itu. Sejujurnya, aku tidak punya tujuan, itulah sebabnya aku tidak menyukai jam istirahat. Terutama pada saat-saat seperti ini, dimana aku yakin meja kantin sudah penuh oleh para gerombolan cheers dengan mini skirt mereka, juga gerombolan si berat - itu sebutanku untuk para pengacau, para footballers, dengan otak dangkal mereka yang selalu berpikir bahwa tanpa mereka nama The Griffith Lions tak akan pernah ada. Aku menghela nafas. Tidak. Bukan itu alasan utamanya. Aku hanya membohongi diri. Aku tidak pernah peduli dengan mereka, terserah mereka berbuat apa. Aku tidak peduli. Aku hanya sudah tidak diterima oleh satu-satunya meja yang menerimaku, Marion. Tidak heran sekolah terasa begitu menyiksa. Marion, apa itu yang kau sebut sebagai teman? Aku berjalan. Masih tanpa tujuan, otakku kosong, begitu pula pandanganku dan aku tidak sadar sampai aku berhenti tepat di depan pintu cafetaria Griffith, tempat yang paling kuhindari untuk saat ini (walau itu membuatku terlihat seperti pengecut) tapi tetap kedua kakiku membawaku ke tempat ini. Aku berdiri, lebih tepatnya seperti patung di depan pintu yang terbuka lebar di depanku. Haruskah aku masuk? " Get out of the way, will ya'!?" Seseorang menyenggolku. Aku merasakan senggolan di punggungku dan aku oleng untuk sesaat, membuatku maju beberapa langkah ke depan sehingga kini posisiku berada di dalam cafetaria. Oh great.Aku bukan seperti Kimberly dan Madeleine, yang setiap kali menapak ke dalam kantin menimbulkan kehebohan tersendiri. Wajar rasanya kalau tidak ada yang menyadari keberadaanku di dalam kantin itu. Harusnya aku tidak perlu merasa sepengecut ini. Ini bukan apa yang nenek ajarkan padaku. Tapi...., kedua mataku bergerak secara otomatis dan menangkap figur Marion. Di meja yang biasa, tertawa seperti biasa. Seperti kehilangan diriku di meja tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Aku hanya menatapnya kosong, dan sekilas, Marion melihatku. Ya, sekilas. Mata emeraldnya yang cemerlang langsung dialihkan begitu melihatku. Astaga, Marion. Apa yang kulakukan? Apa salahku? Cafetaria memang bukan pilihan yang baik untuk menghabiskan waktu istarahat tapi.... suara derai tawa yang begitu heboh dari beberapa meja di depanku membuatku berpaling dari Marion. Ada satu alasan lagi. Dan itulah alasan yang tetap membawaku ke tempat ini. Dia. Jared. Beautiful as ever. Sosok yang selalu kucari, kudambakan, tapi tak akan pernah bisa kugapai. Aku ingin tersenyum melihat dirinya, tapi aku tidak bisa. Di situ ia duduk, bersama gerombolannya. Teman-temannya tertawa, tapi tidak dengan dirinya. Ia tidak bereaksi, tetap pada wajah yang Jared yang ku ketahui. Dingin, dan terlihat sedih. Aku tidak bisa tersenyum ketika dia tidak tersenyum. Tidak akan pernah bisa. Dia mendongak, dan aku masih dengan bodohnya menatap dirinya padahal aku tahu pada saat seperti ini harusnya refleks badanku - terutama mata dan kepalaku bergerak. Aku harus berpaling, tapinya nyatanya aku malah menatapnya. Dan mata dingin Jared menyambutnya. Ia balik menatapku. Tidak bereaksi, hanya menatapku. Tidak tahukah kau, aku begitu merindukanmu? Betapa seringnya kau mengisi hari-hariku walau aku lelah dengan semua perasaan ini? Aku hanya ingin melihatmu tersenyum, hanya sekali saja. Hatiku berteriak, dan rasa pedih yang selama ini selalu ku pendam setiap malam seperti muncul kembali ke permukaan. Seperti serpihan-serpihan kayu dari sebuah kapal yang hancur dan tenggelam, semua kembali ke permukaan. Aku berpaling. Aku tidak bisa menatapnya lagi. Hanya menatap dirinya saja, membuatku merasa sakit, juga sedih. Ini tidak benar. Aku tidak seharusnya memikirkan dirinya lagi. Tidak cukupkah semua hal yang ku alami? Marion, dia? Berapa banyak lagi yang harus ku tanggung? Kecupan singkat mendarat di bibirku saat itu, " Hello, sugarpie." "Gaspard!" Terhenyak. Aku mendongak, mendapati Gaspard tengah nyengir menatapku. Aku merenggut, tidak terbiasa dengan sikap Gaspard yang begitu frontal. Aku mendesah dan hanya mampu tersenyum balik. "Sudah lama menunggu?" tanyanya sembari merangkul diriku. Figur Gaspard yang tinggi membuatku terlihat begitu mungil di sampingnya. Aku menggeleng dan Gaspard masih dengan attitude cheerful yang sama mulai menuntunku, keluar dari cafetaria. Aku tidak tahu, bahwa saat itu dua pasang mata tengah menatapku, tajam dan intens, mengantar kepergianku dari cafetaria Griffith. Marion dan Jared.
3 commented
|
Meet & Greet
Full Name: Gabriella Carissa Vicky Wijaya
Nickname:: Car, vqie, sap, pi, zung, Carey
Nationality: Indonesian
Birthday: May 12, 1992
Born in: Jakarta, Indonesia
Interest: dance. summer. blog. books. fashion. classical. cuisine. photography.
visit her personal blog
Biography ▼
Born as a single child in her family, ever since she was a toddler she has been introduced to the so-called fairytales books by her parents. But as she grew up, she prefer to read comics rather than novels.
Despite that, her fantasies and loves of daydreaming never fades away.
So, at the age of 11-12, she teamed up with her friend and made books which contained their private collections of short stories. Mostly about kingdoms, princes, and princesses. Well, too bad they'd lost the book.
Later, she was introduced to a piece called "Me Vs High Heels" by her friend. It was the first novel she'd ever read and it was at that moment that she fell instantly in love with the world of literature. She became
obsessed with books and teen-lit.
It was also at that same moment when she tried her first attempt on writing a novel. Her idea for her first novel was general theme; an orphan girl who loves piano & her love-life and because it's general, she got stuck with writer's block
and never finished the novel. But she kept on trying, she kept on writing after the first failure. A lot of ideas kept coming to her and she wrote quite a lot of novel.
Unfortunately, none of them is finished due to her busy school-schedule & ballet classes. But there's indeed two novel that nearly reached the end; one is about twin-witches trying to living a normal high school life and the other is about besties who fell in love with the same guy.
She decided to take a break for a while, but she continued to write through blogging. And now, she's back. Writing a novel in which she called as Tsujimaru-Project (due to the name of the hero's family) and she kept on posting her short stories through the net.
Her favourite Indonesian Authors are Sitta Karina and Ilana Tan.
She has the complete collection of Hanafiahs series.
Her name (Carissa) and her bestie name (Flori) once came up in one of Sitta's Novela called "Seuntai Pita Putih", coincidentally.
She loves Austen's work: Pride and Prejudice.
It took her exactly one year to finish reading Lord of The Ring Trilogy.
She loves Greek Myths; especially Eros & Psyche story.
She loves scandalous-glamorous themes.
She never read Harry Potter before.
|
Telly-tales
On-going projects
The Tsujimarus.
Hikari & The Fifth Element.
On-going stories
Collide
Salut D'Amour
Noel
Finished stories
|
Books are love
|
Out & About
Meet them
Akina
Anna Godbersen
Cecily Von Ziegesar
Dan Brown
Gracia Anindita
Melissa De La Cruz
Sarah Dessen
Sitta Karina
Stephanie Meyer
BookBlogger
SereneHours
Pop Culture Junkie
|
under construction
Sorry for the Unconvenience
|
Stats
readers
hits
Author
Memoirs
Follow her
Are you a fan of vqiie's works? Are you a daily readers? Want to keep up with the latest story?
click here and enjoy
Credits
Copyright 2009 © All rights reserved
|