"Semua hal memiliki melodinya tersendiri. Pepohonan, angin, deburan ombak, mereka semua memiliki melodi yang hanyalah dimiliki oleh mereka. Dan kau tahu, Ki-chan? Hatimu pun memilikinya."
"Hatiku?"
"Ya, tapi hanya jika kau percaya. Barulah hatimu akan menyanyikan melodi tersebut untukmu."
"Tapi, bagaimana aku bisa mendengarnya, nek?"
"Percaya, Ki-chan. Percayalah, percaya bahwa kau bisa mendengarnya. Percaya dan kau bisa merasakan keajaiban melodi tersebut suatu hari nanti."
"Hatiku?"
"Ya, tapi hanya jika kau percaya. Barulah hatimu akan menyanyikan melodi tersebut untukmu."
"Tapi, bagaimana aku bisa mendengarnya, nek?"
"Percaya, Ki-chan. Percayalah, percaya bahwa kau bisa mendengarnya. Percaya dan kau bisa merasakan keajaiban melodi tersebut suatu hari nanti."
* * *
Musim panas, dan matahari bersinar terik. Yah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Musim panas yang biasa. Dan jika pada saat-saat seperti ini, semua orang berusaha menghindari panas dengan mendekam di cafe berAC dan menyantap es, tidak dengannya - dengan gadis berwajah hati dan sepasang mata kecil yang ekspresif, Miyamori Miki.
Miki berbaring telentang di kebun belakang sekolah, matanya terpejam. Keringat membasahi dahinya akibat panasnya udara hari itu, tapi ia tidak peduli. Wajahnya yang putih, nyaris pucat, terkena tempaan cahaya dan ia malah tersenyum.
Mungkin sebagian orang akan menganggapnya aneh. Tapi, itulah ia, dirinya. Miki mencintai matahari dan musim panas. Oke, koreksi, ia mencintai suara alam musim panas. Suara yang tak bisa ia dapati di musim-musim lainnya.
Dan itulah mengapa ia memilih untuk 'melarikan' diri ke kebun belakang sekolah ini. Disinilah ia bisa mendengar semuanya dengan jelas. Suara angin yang berdesir, ranting dan dedaunan yang bergesekan satu sama lain, kicauan burung beradu dengan jangkrik. Tenang sekali. Seperti membentuk suatu rangkaian nada, menjadi melodi musim panas tersendiri.
Melodi? Miki membuka matanya, dan bangkit. Lagu? Ia menoleh ke kanan-kiri, yakin bahwa apa yang didengarnya adalah kenyataan. Ada lagu yang terselip di antara suara musim panas miliknya. Tapi, siapa yang memainkannya?
Miki berdiri, masih mencari darimana asalnya lagu tersebut, melodi tersebut. Piano. Ia yakin sekali akan hal ini. Siapa yang memainkannya? Libur musim panas sudah di mulai beberapa hari yang lalu, dan siapa yang serajin ini untuk datang ke sekolah dan bermain piano?
Miki melangkah, membiarkan setiap langkah menuntun dirinya menuju sumber suara tersebut.
La Campanella? Miki mengenali lagu tersebut. Ha, ya, as if she would ever forget that melody. Terlahir dengan indra pendengaran yang tajam dan memori yang begitu kuat membuat Miki tak pernah bisa melupakan setiap detail dari setiap lagu yang ia dengar.
Itulah salah satu modal yang membuatnya di terima di sekolah elite macam Tokyo School of Music.
Langkahnya berhenti tepat di depan pintu auditorium. Aula yang biasa digunakan oleh TSM jika akan menyelenggarakan konser atau concour, atau jika kedatangan 'tamu' dari luar. Miki yakin, suara tersebut berasal dari auditorium ini.
Pintu auditorium tersebut terbuka, hanya sedikit tapi cukup untuk menggelitik rasa penasaran Miki. Siapa yang memainkan lagu ini? Dirinya sangat penasaran. Tidak ada satu kesalahan pun, bahkan pada detail terkecil sekali pun, yang orang lain tak mungkin dengar - kecuali dirinya.
Miki membuka pintu berat tersebut perlahan, tidak ingin menganggu permainan siapa-pun-itu-yang-memainkannya.
Dan disitulah orang itu berada, di tengah panggung, memainkan piano, dengan kedua mata terpejam, seakan-akan lagu tersebut sudah menyatu dengan dirinya sepenuhnya. Miki tersenyum. Melangkah ke dalam auditorium, seperti membawanya dirinya sendiri masuk ke dalam alam fantasi.
Perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setiap nada yang dimainkan oleh stranger itu seperti memiliki efek tersendiri. Lembut, tegas, playful?
Tanpa sadar, Miki melangkah mendekati panggung, ingin melihat sang pianis lebih dekat. Ini adalah tahun ketiga-nya di TSM dan ia tidak pernah mendengar permainan seperti ini sebelumnya.
Lagu tersebut berakhir, begitu pula dengan langkah Miki. Seperti sihir yang dilantunkan oleh melodi tersebut sudah hilang efeknya. Miki sudah cukup dekat dengan panggung untuk melihat sang pianis - yang kini sudah membuka matanya itu.
Tidak, ia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Rambut hitamnya yang terlihat acak-acakan, jemarinya yang panjang, profilnya yang terlihat begitu cool & collected di balik tuts-tuts piano tersebut.. Miki yakin sekali orang ini baru di TSM.
Pianis itu menoleh, menyadari kehadiran Miki. Dan itulah saat pertama kali Miki melihat wajahnya dengan jelas, di tengah penerangan auditorium yang begitu redup (hanya berasal dari spotlight yang di arahkan ke panggung).
Wajahnya tampan, klise memang. Tapi itulah hal yang pertama kali terlintas di benak Miki. Lembut tetapi sekaligus tegas, sama seperti permainannya. Wajah tampan dengan kacamata berbingkai.
Pianis tersebut menatap Miki bingung, dan matanya seakan-akan meminta penjelasan atas kehadiran Miki.
"Eh," Miki langsung gugup sendiri, "Aku mendengar permainanmu dari kebun belakang."
Pianis tersebut tidak merespon, hanya tersenyum kecil, membuat wajahnya terlihat hangat dan bersahabat.
"La Campanella-mu," Miki melangkah maju. "Ajaib.. Begitu indah, aku tidak pernah mendengar La Campanella seperti yang barusan kau mainkan."
"Arigatou Gozaimasu." Respon simpel.
"Atashi wa Miyamori desu, Miyamori Miki." Miki memperkenalkan dirinya tanpa diminta, rasanya tak sopan jika terus berbicara tanpa mengenalkan diri terlebih dahulu, "Yoroshiku."
Pianis tersebut berdiri dan membungkuk, "Tsujimaru Seiichiro. Yoroshiku."
Want to hear La Campanella?
Miki berbaring telentang di kebun belakang sekolah, matanya terpejam. Keringat membasahi dahinya akibat panasnya udara hari itu, tapi ia tidak peduli. Wajahnya yang putih, nyaris pucat, terkena tempaan cahaya dan ia malah tersenyum.
Mungkin sebagian orang akan menganggapnya aneh. Tapi, itulah ia, dirinya. Miki mencintai matahari dan musim panas. Oke, koreksi, ia mencintai suara alam musim panas. Suara yang tak bisa ia dapati di musim-musim lainnya.
Dan itulah mengapa ia memilih untuk 'melarikan' diri ke kebun belakang sekolah ini. Disinilah ia bisa mendengar semuanya dengan jelas. Suara angin yang berdesir, ranting dan dedaunan yang bergesekan satu sama lain, kicauan burung beradu dengan jangkrik. Tenang sekali. Seperti membentuk suatu rangkaian nada, menjadi melodi musim panas tersendiri.
Melodi? Miki membuka matanya, dan bangkit. Lagu? Ia menoleh ke kanan-kiri, yakin bahwa apa yang didengarnya adalah kenyataan. Ada lagu yang terselip di antara suara musim panas miliknya. Tapi, siapa yang memainkannya?
Miki berdiri, masih mencari darimana asalnya lagu tersebut, melodi tersebut. Piano. Ia yakin sekali akan hal ini. Siapa yang memainkannya? Libur musim panas sudah di mulai beberapa hari yang lalu, dan siapa yang serajin ini untuk datang ke sekolah dan bermain piano?
Miki melangkah, membiarkan setiap langkah menuntun dirinya menuju sumber suara tersebut.
La Campanella? Miki mengenali lagu tersebut. Ha, ya, as if she would ever forget that melody. Terlahir dengan indra pendengaran yang tajam dan memori yang begitu kuat membuat Miki tak pernah bisa melupakan setiap detail dari setiap lagu yang ia dengar.
Itulah salah satu modal yang membuatnya di terima di sekolah elite macam Tokyo School of Music.
Langkahnya berhenti tepat di depan pintu auditorium. Aula yang biasa digunakan oleh TSM jika akan menyelenggarakan konser atau concour, atau jika kedatangan 'tamu' dari luar. Miki yakin, suara tersebut berasal dari auditorium ini.
Pintu auditorium tersebut terbuka, hanya sedikit tapi cukup untuk menggelitik rasa penasaran Miki. Siapa yang memainkan lagu ini? Dirinya sangat penasaran. Tidak ada satu kesalahan pun, bahkan pada detail terkecil sekali pun, yang orang lain tak mungkin dengar - kecuali dirinya.
Miki membuka pintu berat tersebut perlahan, tidak ingin menganggu permainan siapa-pun-itu-yang-memainkannya.
Dan disitulah orang itu berada, di tengah panggung, memainkan piano, dengan kedua mata terpejam, seakan-akan lagu tersebut sudah menyatu dengan dirinya sepenuhnya. Miki tersenyum. Melangkah ke dalam auditorium, seperti membawanya dirinya sendiri masuk ke dalam alam fantasi.
Perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setiap nada yang dimainkan oleh stranger itu seperti memiliki efek tersendiri. Lembut, tegas, playful?
Tanpa sadar, Miki melangkah mendekati panggung, ingin melihat sang pianis lebih dekat. Ini adalah tahun ketiga-nya di TSM dan ia tidak pernah mendengar permainan seperti ini sebelumnya.
Lagu tersebut berakhir, begitu pula dengan langkah Miki. Seperti sihir yang dilantunkan oleh melodi tersebut sudah hilang efeknya. Miki sudah cukup dekat dengan panggung untuk melihat sang pianis - yang kini sudah membuka matanya itu.
Tidak, ia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Rambut hitamnya yang terlihat acak-acakan, jemarinya yang panjang, profilnya yang terlihat begitu cool & collected di balik tuts-tuts piano tersebut.. Miki yakin sekali orang ini baru di TSM.
Pianis itu menoleh, menyadari kehadiran Miki. Dan itulah saat pertama kali Miki melihat wajahnya dengan jelas, di tengah penerangan auditorium yang begitu redup (hanya berasal dari spotlight yang di arahkan ke panggung).
Wajahnya tampan, klise memang. Tapi itulah hal yang pertama kali terlintas di benak Miki. Lembut tetapi sekaligus tegas, sama seperti permainannya. Wajah tampan dengan kacamata berbingkai.
Pianis tersebut menatap Miki bingung, dan matanya seakan-akan meminta penjelasan atas kehadiran Miki.
"Eh," Miki langsung gugup sendiri, "Aku mendengar permainanmu dari kebun belakang."
Pianis tersebut tidak merespon, hanya tersenyum kecil, membuat wajahnya terlihat hangat dan bersahabat.
"La Campanella-mu," Miki melangkah maju. "Ajaib.. Begitu indah, aku tidak pernah mendengar La Campanella seperti yang barusan kau mainkan."
"Arigatou Gozaimasu." Respon simpel.
"Atashi wa Miyamori desu, Miyamori Miki." Miki memperkenalkan dirinya tanpa diminta, rasanya tak sopan jika terus berbicara tanpa mengenalkan diri terlebih dahulu, "Yoroshiku."
Pianis tersebut berdiri dan membungkuk, "Tsujimaru Seiichiro. Yoroshiku."
Want to hear La Campanella?